Bagaimana kalau saat demo melaksanakan shalat Jumat di jalan raya, diimami di jalan raya padahal masjid masih muat dan bisa menampung jamaah?
Syarat Sah dan Wajib Jumat
Para ulama memberikan syarat sahnya shalat jumat dilaksanakan. Di antara syarat yang disebutkan adalah mengenai syarat sah dan syarat wajib sekaligus. Artinya, jika syarat ini tidak ada, maka shalat jumatnya tidak sah dan tidak wajib dilaksanakan.
Syarat sah dan wajib Jumat yang sekaligus disebut oleh para ulama adalah :
- Tempat didirikan shalat Jumat adalah di masjid suatu negeri atau kampung yang berpenduduk.
- Mendapatkan izin dari sultan atau penguasa.
- Sudah masuk waktu pelaksanaan shalat zhuhur dan waktunya berlangsung terus hingga waktu ‘Ashar.
Syarat pertama disebutkan oleh madzhab Abu Hanifah. Dalam salah satu kitab pegangan dalam madzhab Abu Hanifah, Al-Mabsuth karya Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsi disebutkan,
لَا جُمُعَةَ وَلَا تَشْرِيقَ وَلَا فِطْرَ وَلَا أَضْحَى إلَّا فِي مِصْرٍ جَامِعٍ وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ حِينَ فَتَحُوا الْأَمْصَارَ وَالْقُرَى مَا اشْتَغَلُوا بِنَصْبِ الْمَنَابِرِ وَبِنَاءِ الْجَوَامِعِ إلَّا فِي الْأَمْصَارِ وَالْمُدُنِ وَذَلِكَ اتِّفَاقٌ مِنْهُمْ عَلَى أَنَّ الْمِصْرَ مِنْ شَرَائِطِ الْجُمُعَةِ
“Tidak ada Jum’at, tasyriq, Idul Fithri, Idul Adha, melainkan di lakukan di mishr jami’. Karena para sahabat ketika menaklukkan berbagai negeri dan kampung, mereka tidaklah sibuk dengan mendirikan mimbar dan membangun jami’ kecuali berada di negeri dan kampung. Karenanya mereka itu sepakat bahwa mishr jami’ itu merupakan syarat didirikannya shalat Jum’at.” (Al-Mabsuth, 2: 310, Asy-Syamilah)
Yang dimaksud dengan mishr jami’ disebutkan oleh Imam As-Sarakhsi,
حَدِّ الْمِصْرِ الْجَامِعِ أَنْ يَكُونَ فِيهِ سُلْطَانٌ أَوْ قَاضٍ لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَتَنْفِيذِ الْأَحْكَامِ
“Batasan disebut mishr jami’ adalah yang di dalamnya ada sultan (penguasa) atau qadhi (kami) untuk menegakkan hukum hudud dan menjalankan hukum syari’at lainnya.”
Sedangkan madzhab lainnya tidak menyaratkan seperti ini.
Dalam madzhab Syafi’i disyaratkan, shalat Jumat yang penting dilakukan di dalam bangunan tertutup yang ada di negeri atau perkampungan.
Imam Asy-Syairazi dalam Al-Muhaddzab menyatakan,
ولا تصح الجمعة إلا في أبنية يستوطنها من تنعقد بهم الجمعة من بلد أو قرية
“Shalat Jumat tidaklah sah dilakukan kecuali di dalam bangunan yang di mana nantinya diisi oleh orang-orang yang sah mendirikan shalat jumat yang menetap di negeri atau kampung.”
Imam Nawawi menjelaskan,
سواء كان البناء من احجار أو أخشاب أو طين أو قصب أو سعف أو غيرها
“Bangunan tadi bisa jadi terbuat dari batu, kayu, tanah, batang yang beruas (seperti pada tebu, pen.), pelepah kurma, dan selainnya.” (Al-Majmu’, 4: 256-257)
Ulama Hambali menyatakan bahwa shalat di padang pasir pun masih sah.
Ibnu Qudamah rahimahullah (lahir tahun 541 H, meninggal dunia tahun 620 H) menyatakan,
وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ إقَامَتُهَا فِي الْبُنْيَانِ ، وَيَجُوزُ إقَامَتُهَا فِيمَا قَارَبَهُ مِنْ الصَّحْرَاءِ .وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : لَا تَجُوزُ فِي غَيْرِ الْبُنْيَانِ
“Tidak disyaratkan untuk sahnya jumat untuk dilakukan di masjid. Boleh saja melakukan shalat Jumat di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Demikian juga yang menjadi pendapat dalam madzhab Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh mengerjakan shalat Jumat selain di dalam gedung.” (Al-Mughni, 3: 209)
Ulama Malikiyah menyaratkan shalat Jumat dilaksanakan di tempat yang bisa menetap dalam waktu yang lama, bisa dilakukan dalam gedung atau rumah dari kayu (gubug). Namun tidak boleh shalat Jumat tersebut dilakukan di kemah karena bukan tempat yang layak untuk menetap dalam waktu yang lama.
Kalau kita perhatikan dari pendapat yang ada, berarti yang menyaratkan shalat dalam bangunan hanyalah madzhab Syafi’i. Sedangkan madzhab Hambali dan Abu Hanifah masih membolehkan di luar masjid. Adapun madzhab Malikiyah berpendapat bahwa asalkan tempatnya layak untuk tinggal, boleh didirikan shalat Jumat.
Sehingga dalam madzhab Syafi’i sendiri -sebagaimana yang dianut di negeri kita- mengenai shalat di jalan jelas tidak dibolehkan karena dipersyaratkan shalat Jumat mesti dalam bangunan.
Mengenai Hukum Shalat di Jalan
Adapun mayoritas ulama masih membolehkan shalat di jalan karena dengan alasan keumuman hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menilai hadits ini dha’if dalam Minhah Al-‘Allam, 2: 352-353)
Kalau hadits kedua di atas dha’if, berarti masih dibolehkan shalat di tujuh tempat di atas kecuali jika ada dalil shahih yang melarang seperti shalat di pekuburan, tempat pemandian dan tempat menderumnya unta.
Ulama madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah menganggap bahwa dimakruhkan (terlarang) shalat di jalan. Al-Khatib Asy-Syarbini, salah seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa sebab dilarangnya shalat di jalan adalah karena dapat mengganggu kepentingan umum, menghalangi orang untuk lewat hingga kurangnya khusyu’. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27: 114)
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang utama tidaklah shalat di jalan. Akan tetapi jika ada hajat untuk shalat di tengah jalan, maka tidaklah masalah. Seperti misalnya masjid sangatlah sempit asalkan menggunakan alas saat itu.” (Minhah Al-‘Allam, 2: 356)
Silakan timbang-timbang lagi penjelasan di atas dengan fatwa MUI berikut:
Fatwa MUI perihal Shalat Jumat di Tempat Selain Masjid
Wallahu a’lam. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
- Al-Mabsuth. Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsi. Maktabah Syamilah (nomor halaman tidak sesuai dengan cetakan)
- Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab li Asy-Syairazi. Cetakan pertama, tahun 1423 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Islamiyyah Kuwait.
- Al-Mughni. Cetakan tahun 1432 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan 23 Safar 1438 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Biar membuka Rumaysho.Com mudah, downloadlah aplikasi Rumaysho.Com lewat Play Store di sini.
Follow Us : Facebook Muhammad Abduh Tuasikal | Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Twitter @RumayshoCom | Instagram @RumayshoCom | Channel Telegram @RumayshoCom | Channel Telegram @TanyaRumayshoCom